Senin, 20 Mei 2013

Air mata dan pelukan Daniel

Yang penting bukan SEBERAPA LAMA KITA HIDUP, tetapi yang penting adalah SEBERAPA BERGUNANYA KITA BAGI SESAMA SELAMA KITA HIDUP.

... "Kita Putus...!"
...
Masih terngiang di telingaku kalimat yang diucapkan Agnes dua jam yang lalu. Aku hanya diam membisu. Seolah ada sesuatu yang tajam menusuk kedalam hatiku.
"Kamu ngga kayak cowok teman-temanku yang lain. Kalau mau dibandingkan kayak langit dan bumi deh. Semuanya pada cerita tentang kehebatan dan kelebihan pacar mereka, sedangkan aku? Aku ngga tau harus ngomong apa!"

Aku memilih diam dan mendengarkan alasannya memutuskan hubungan kami yang sudah berjalan 2 tahun. Tepatnya hari ini kami 2 tahun jadian.

"Masa hari gini dia ngga punya Blackberry? Yang ada hanya HP butut nan tua. Yang bisa untuk sms dan telpon doang. Sedangkan pacar teman-teman aku, jangankan BB, Iphon pun punya. Trus kamu ngga pernah jemput aku. Jangankan pake mobil, sepeda aja ngga punya, apalagi motor? Kemana-mana naek angkot. Duh...padahal Jakarta kan panas dan berdebu dimana-mana. Coba liat tuh, cowok nya si Ririn, mau naik mobil apa aja bisa. Tinggal pilih yang ada di garasi rumahnya. Sopir ngga cuma satu, tapi lebih. Kemana aja pasti dianterin. Sementara kamu? Jauh banget..."

Aku mencoba menahan rasa sakit tersebut.

"Kamu tidak pernah ajak aku makan di cafe atau di restoran yang berkelas gitu. Yang ada minum es teh dan makan bubur di pinggir jalan. Kan kalo teman-teman aku liat bisa gengsi aku. Malu-maluin bangat."

Hatiku hanya berbisik, "Jadi selama ini kamu malu kalo aku ajak kamu makan dipinggir jalan?"

"Kamu ngga pernah ngasih aku kado atau sesuatu yang "mahal" gitu. Coba si Keisha yang baru jadian satu bulan ama si Tio, pake liontin emas putih. Sedangkan aku? Mimpi kali yee..."

Akhirnya bibirkupun mengelurkan kalimat "Maaf, kalau selama kita jadian aku tidak bisa seperti pacar teman-teman kamu. Terima kasih kalau kamu pernah hadir dalam hidupku. Seharusnya dari awal kamu tau kalau aku hanya anak yatim piatu yang tidak memiliki apa-apa."

Detik berikutnya aku hanya melihat punggung Agnes meninggalkanku. Meninggalkan sebuah luka dihatiku.

"Ko Tara...!" teriak Daniel menyambut kedatanganku. Sebuah pelukan hangat membalut tubuhku. Sambutan Daniel menjadi obat sakit di hatiku. Aku membalas pelukannya. Detik berikutnya air mataku jatuh tak tertahan. Aku tidak pernah menyesal terlahir dikeluarga yang miskin. Aku tidak pernah menyalahkan Tuhan ketika aku harus kehilangan kedua orang tua ku 5 tahun yang lalu. Waktu mereka pergi untuk selama-lamanya, Daniel baru berusia 2 tahun. Beruntung waktu itu aku baru saja menyelesaikan bangku SMA. Aku harus membesarkan Daniel sendiri dengan hasil uang yang aku dapat dari menjadi seorang Fotografer dan usaha Wedding Organizer yang aku rintis.

"Kamu sudah makan?" tanyaku sambil menatap wajah Daniel.

"Aku nunggu koko. Aku mau makan dengan koko"

Aku memperhatikan wajah Daniel. Pucat. Sementara ada tanda bercak darah pada kulitnya yang putih.

"Kamu ngga kenapa-napa kan Dan?" tanyaku dengan penuh kekhawatiran.

"Koko, Daniel sehat-sehat saja! Cuma tadi sempat mimisan"

Aku terkejut mendengar jawaban Daniel.

"Selesai makan, nanti kita ke dokter ya?"

"Daniel takut di suntik"

"Kamu ngga usah takut. Kan ada koko! Di suntik cuma kayak digigit semut merah"

"Ya udah! Tapi aku ditemanin sama koko ya?"

Aku menganggukkan kepala tanda setuju.

****

Daniel dirujuk ke bagian Anak di salah satu Rumah sakit di Jakarta. Di Rumah Sakit itu sumsum tulang belakangnya diambil. Ternyata trombositnya rendah, sedangkan sel darah putih berlebihan. Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan, ia positif terjangkit Leukimia dan harus menjalani pengobatan selama 2 tahun.

Pada 3 bulan pertama, Daniel di kemoterapi dan diberi obat antikanker (stitostika). Setiap kali mendapat pengobatan, ia muntah, nyeri pada sendi dan rambut rontok. Sel kanker pun menjalar ke bagian otak. Harapan untuk sembuh kian tipis.

"Koko, Daniel sayang koko!" Ucap Daniel ketika memelukku di atas ranjangnya.

"Koko juga sayang Daniel. Tuhan pasti sembuhkan kamu!" Aku mencoba menghiburnya. Setiap hari aku meyakinkannya, kalau dia pasti sembuh.

"Besok Daniel sudah bisa pulang."

Mungkin itu berita gembira buat Daniel. Tapi bagiku tidak! Uang tabunganku sudah habis untuk membiayai pengobatan Daniel. Dua hari yang lalu aku terpaksa menjual kameraku untuk menutupi biaya yang belum aku lunasi. Daniel tidak akan mendapatkan terapi lagi.

"Daniel malu!"

"Malu kenapa sayang?"

"Kepala Daniel botak"

"Tapi koko ngga pernah malu punya adik yang kepalanya botak"

"Koko, minggu depan Daniel ultah yang ke-8 loh!"

Aku menatap Daniel.

"Koko ingat kok. Daniel mau kado apa?"

Daniel berpikir sejenak

"Daniel cuma mau sembuh. Daniel ngga mau kado apa-apa"

"Serius? Daniel suka SpongeBob kan?"

"Suka bangat!"

"Mau ngga kalau koko kasih boneka SpongeBob?"

"Mau!" sahut Daniel dengan semangat.

****

Aku berdiri terpaku mendengar suara merdu Daniel. Hari ini aku membawa Daniel ke Gereja. Aku tidak menyangka kalau dia akan maju ke altar dengan kursi rodanya dan menyanyikan sebuah pujian.

Tak terbatas kuasa-Mu Tuhan

Semua dapat Kau lakukan

Apa yang kelihatan mustahil bagiku

Itu sangat mungkin bagi-Mu

Disaat ku tak berdaya

Kuasa-Mu yang sempurna

Ketika ku percaya

Mujizat itu nyata

Bukan karena kekuatan

Namun Roh-Mu ya Tuhan

Ketika ku berdoa

Mujizat itu nyata

Bridge:
Mujizat itu dekat dimulutku

dan ku hidup oleh percaya.

Aku melihat beberapa jemaat meneteskan air mata.

"Kalau Daniel masih bisa hidup hari ini, itu semua karena mujizat dari Tuhan Yesus. Terima kasih untuk koko Dewantara yang selama ini membesarkan Daniel sendiri. Daniel janji, Daniel ngga akan nakal! Daniel sayang koko!" Tutur Daniel setelah mengakhiri pujiannya.

****

"Koko, kenapa nangis?" tanya Daniel dengan lemah.

Hari ini keadaan Daniel kritis. Terpaksa aku membawa ke Rumah Sakit.

Aku menghapus air mataku.

"Tuhan Sembuhkan atau tidak, bagi Daniel Tuhan tetap baik!"

Aku menganggukkan kepala tanda setuju dengan ucapannya.

"Koko, terima kasih buat kado boneka SpongeBob nya ya...!"

"Sama-sama sayang"

Daniel mengambil sesuatu di balik bantalnya. Lalu dia melihatnya dengan lemah. Foto kedua orang tua ku bersama aku dan Daniel yang masih bayi.

"Koko, maafin Daniel ya kalau selama ini Daniel nakal dan repotin koko. Nanti kalau Daniel ke surga, daniel akan cari mama dan papa. Koko ngga usah khawatir lagi."

Aku memeluk Daniel. "Ya, Tuhan! Aku belum siap kehilangan Daniel!"

Dengan pelan Daniel mengucapkan sebait doa sambil memeluk boneka SpongeBob nya.

Tuhan...
Aku lapar! Sangat lapar!

Tapi aku tidak ingin meminta makanan.

Aku hanya minta berkati mereka yang kelaparan seperti aku.

Tuhan...
Aku sakit. Sangat sakit.

Tapi aku tidak meminta kesembuhan.

Aku hanya meminta, sembuhkan mereka yang sakit sepertiku.

Tuhan...
Aku tidak ingin mujizat-Mu

Meski aku tahu, Engkau sanggup melakukannya.

Aku hanya minta tunjukkan mujizat-Mu kepada meraka yang tidak mempercayai-Mu.

Tuhan...
Kalau nanti aku meninggal

Aku tak ingin ada yang menangis.

Tapi aku ingin mereka tersenyum, tersenyum karena aku bertahan hingga akhirnya.

Tuhan...
Malam ini, aku tidak minta apa-apa untuk diriku

Jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di surga

Karena aku tahu, bersama-Mu semuanya akan Engkau berikan.

Amin.

Detik berikutnya, Daniel menatapku dengan lembut dan lemah. Perlahan-lahan matanya tertutup rapat. Air mataku jatuh berderai tak tertahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar