Senin, 17 Juni 2013

Ritual Seks di Gunung Kemukus Dalam Cerita

"Kalau kamu mau sukses dan kaya secara instan, datanglah ke Gunung Kemukus. Kalau kamu ke Gunung Kawi, salah satu anak, keponakan, cucu, atau cucu keponakan, akan terlahir idiot. Kalau kamu memelihara tuyul, dan tuyul itu tertangkap, lalu salah satu tangannya dipaku, maka tanganmulah yang akan luka ditembus paku. Kalau kamu datang ke Jimbung, dan memelihara bulus, maka kulitmu akan belang-belang putih yang terus meluas. Ketika belang itu menyatu, maka kamu akan mati dan menjadi bulus. Kalau kamu jadi babi ngepet, dan tertangkap, akan langsung dibunuh orang. Paling aman memang ke Kemukus. Tidak ada resiko, tidak ada tumbal…

Demikian sebuah nasihat orang tua kepada seseorang yang ingin sukses tanpa resiko, bahkan bisa dibilang mudah dan nikmat. Lho koq nikmat? Ya, karena kita hanya diminta berziarah ke makam pangeran Samudro dan mandi di sendang Ontrowulan, lalu melakukan hubungan seks dengan seorang yang bukan muhrimmu di alam terbuka. Baik laki-laki maupun perempuan. Dan hanya diperlukan 7 kali kehadiran di sana. Tidak percaya? Buktikan saja.
Kemukus di sini adalah bukan sejenis nama tumbuh-tumbuhan atau sebutan untuk sebuah komet yang kerap kali disebut bintang kemukus, tapi nama sebuah gunung – sebenarnya hanya sebuah gundukan tanah - yang bernama Kemukus, yang selalu penuh sesak didatangi oleh orang yang datang ke sana untuk melakukan suatu ritual dalam upaya mencari kekayaan. Ada dua alasan mereka ke sana, Yang pertama tentu tentu saja tak lepas dari rezeki. Sedang yang kedua, nah ini yang menarik, karena berkaitan erat dengan birahi. Sehingga seringkali Gunung Kemukus pun dicap masyarakat luas sebagai tempat peziarahan paling mesum di Indonesia.
Gunung Kemukus seringkali disebut sebagai kawasan wisata seks karena di situlah orang bisa sesuka hati mengkonsumsi seks bebas dengan alasan untuk melakukan ritual ziarahnya, karena itulah syarat jika mereka ingin kaya dan berhasil
Operasi pelarangan perbuatan mesum di sekitar makam Pangeran Samodro pun digelar setiap malam Jumat Pon (saat dimana ritual itu dilaksanakan) seringkali dilakukan Pemkab namun herannya tempat ini tidak pernah ditutup sama sekali. Operasi itu terkesan hanya setengah hati, karena sumbangannya terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD), tergolong besar.
Ritual Gunung Kemukus, sebuah novel adalah novel kedua dari F. Rahardi setelah novel perdananya yang cukup kontroversial. Lembata. Novel ini diinspirasikan ritual nyata yang terjadi di Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, yang masih dilakukan oleh banyak orang hingga saat ini. Berikut cuplikannya :

* * *
Meilan adalah seorang reporter yang ditugaskan bosnya di Redaksi Majalah Fidela. Ia tak habis pikir sekaligus kesal karena tiba-tiba mendapat tugas untuk meliput Ritual di Gunung Kemukus. Mendengar namanya pun baru kali ini.
"Aku ini kan biasa jalan ke luar negeri, dan liputanku pasti fashion. Mengapa Redpel Bimo tiba-tiba bilang ke Yani, akan nyuruh aku liputan perklenikan, di Jawa lagi. Dia kan tahu aku ini Cina, tidak bisa ngomong Jawa sama sekali, apalagi tahu kulturnya…"
Apa jawaban Redpel. Bimo?
"Yang nulis harus orang yang sebelumnya sama sekali tidak tahu Gunung Kemukus, tidak bisa ngomong Jawa, dan pasti juga tidak tahu kultur Jawa, dengan tujuan agar tulisannya benar-benar mewakili mayoritas masyarakat pembaca, sekaligus pengguna jasa penerbangan."
Apa yang dilakukan Meilan selanjutnya? Bagaimana ia sampai ke sana? Apa yang ditemui di sana?
Ternyata novel ini bisa sebagai buku pedoman wisata ke gunung Kemukus, karena dalam buku ini diuraikan rute perjalanan, jarak tempuh, lokasi, biaya dan hal-hal lain yang berkaitan dengan tempat tersebut hingga penggambaran (deskripsi) tempat tersebut. Siapapun akan sampai di sana jika membaca dan mengikuti petunjuknya dalam novel ini.
Tidak sulit bagi Meilan untuk mencapai tempat tersebut. Apa yang ia lakukan? Berbaur dengan para peziarah dan menginap di lokasi untuk mendapatkan informasi sebanyak mungkin.
Saya sudah empat kali ini datang, Bu. Berarti masih harus datang tiga kali lagi. Pertama datang, kebetulan ketemu ibu-ibu juragan selèpan dari Bantul. Tetapi dia barusan SMS, kalau mau datang besuk saja, bukan hari ini. Ibu tahu bukan, kalau untuk bisa ngalap berkah dari Pangeran, pasangan seperti kami ini, harus datang sampai tujuh lapan? Selapan itu 35 hari Bu, kalau salah satu dari kami absen tidak bisa datang, harus diulang dari awal lagi. Bisa dengan pasangan semula, bisa pula ganti pasangan. Tetapi saya jangan dipotret, jangan ditulis. Sebab istri saya tidak tahu hal ini. Kalau tahu ia akan ngamuk Bu. Juga anak-anak. Kalau pasangan saya itu, namanya Mbak Rini, dia kemari atas ijin suaminya. Malah setengahnya, suaminya yang mendorongnya pergi.

Di saat Meilan hampir putus asa karena data yang diperolehnya belum sesuai dengan keinginannya, ia menjumpai seorang pria yang sedang sedih. Sarmin, yang berprofesi sebagai tukang bakso.
"Saya kehabisan uang Ibu. Saya sudah datang ke Kemukus Jumat Pon yang lalu. Seharusnya, ini Jumat Pon terakhir. Tetapi pasangan saya tidak datang Bu. Saya menunggunya selama seminggu, tetapi tidak datang juga dan uang saya habis. Apakah benar Ibu akan menolong saya?" Meilan merasa, bahwa justru Sarminlah yang akan menolongnya. Bukan dia.
* * *
"Mengapa pasangan Pak Sarmin, siapa namanya? Ibu Yuyun ya? Mengapa ia tidak datang? Tidak tahu ya? Padahal ini sudah yang ketujuh bukan? Ke delapan? O, ya. Yang pertama Pak Sarmin keliru mendapat pasangan wanita yang PSK ya? O, begitu. Lalu baru yang kedua bisa ketemu Bu Yuyun. Dari mana ia? Ponorogo ya? O, pedagang beras. Pak Sarmin pernah ke sana? Ya, ya, sebelumnya pernah kontak telepon, kalau Jumat Pon minggu lalu ini akan datang. Pak Sarmin juga sudah menelepon HPnya melalui wartel. Tetapi tidak diangkat ya. O, tidak bunyi ya? Tetapi apa Pak Sarmin yakin bahwa kalau bisa ketemu Bu Yuyun sampai tujuh kali, biasanya di mana menginapnya? Di dekat sendang ya? Apakah kalau benar bisa ketemu sampai tujuh kali dagangan Pak Sarmin akan laris? Tidak yakin? Mengapa?"

Bagaimana kelanjutan kisahnya? Siapakah Sarmin sebenarnya? Siapakah Yuyun?
"Sebenarnya saya malu sekali menceritakan hal ini Ibu. Tetapi saya percaya kepada Ibu. Ya, dengan Yuyun, dia punya suami Ibu, suaminya petani biasa, anaknya empat. Katanya, dagangnya mundur, karena suaminya judi. Saya tidak terlalu tahu ibu. Saya memang pernah menyusul ke Ponorogo, kemudian kami berangkat bersama ke Kemukus, menginap dulu di Wonogiri. Tetapi waktu itu saya tidak ke rumahnya. Saya hanya ke pasar, tempatnya jualan. Jadi saya tidak tahu rumahnya, tidak tahu anak-anak dan suaminya. Tetapi saya percaya yang dikatakannya benar. Saya tidak tahu mengapa ia tidak datang. Dia memang masih lebih baik dari saya Ibu. Dia pakai kalung, pakai seweng, pakai gelang, punya HP, arlojinya juga bagus. Yang membayar penginapan, yang membayar makan juga dia.

* * *

"Ini bukan sandiwara kan Mas? Mas siapa sampeyan? Mas Badrun? Sebab saya benar-benar kapok, dan tidak ingin pengalaman Jumat Pon yang lalu terulang lagi. Bu Yuyun ini benar dari Ponorogo kan? Boleh saya lihat KTPnya? Ya dulu itu saya juga ditunjuki KTPnya, KTP Donorejo. Ternyata dia perempuan bayaran. Habis duit saya jadinya. Untung aku hanya membayar Rp 30.000. Kalau tidak, aku tidak bisa pulang. Ya maaf lo Bu Yuyun, sebab pengalaman Jumat Pon yang lalu memang tidak baik. Lo, jadi sampeyan ini bukan pasangannya to? Tadinya saya mengira sampeyan berdua ini pasangan. O, jadi Mas Badrun sudah lima kali ini, dan Bu Yuyun baru sekali? Saya sudah dua kali ini, tetapi yang kemarin tertipu."

Apa yang dikatakan Romo Drajad sebagai salah seorang narasumbernya?

"Itu semua tidak adil!" Kata Romo Drajad dalam hampir semua wawancaranya. "Mengapa hanya bangsawan dan orang kaya yang boleh menikmati seks bebas? Dan mengapa hanya laki-lakinya? Mengapa perempuannya tidak boleh?
Maka digagaslah sebuah ritual seks antara pasangan yang bukan suami isteri, di alam bebas. Di sini laki-laki dan perempuan setara. Yang laki-laki boleh memilih pasangannya, perempuannya juga bebas memilih pasangan masing-masing. Hubungan seks di tempat terbuka secara massal, adalah hal yang sangat unik di dunia ini. Agar acara kurangajar ini memperoleh legitimasi, maka dikaranglah legenda Pangeran Samodro dan Nyai Ontrowulan."
"Ritual seks, sebenarnya bukan hal yang istimewa pada jaman neolitikum, Ibu. Ya di Afrika, di Eropa, di Amerika Tengah dan Latin, juga di Jawa ini, ritual seks sangat terkait dengan dewa atau dewi kesuburan. Itu semua milik rakyat. Kemudian ada budaya metropolis. Ketika itulah strata dibuat, aturan main dibakukan, dan penguasa serta orang kaya, menjadi punya hak-hak khusus, yang dibedakan dengan hak rakyat jelata. Di Timur Tengah lalu ada perbudakan, yang kemudian dilanjutkan di Amerika. Di India sana ada kasta. Untung di sini tidak ada. Tetapi hak-hak rakyat tetap dirampas. Hingga muncullan protes gaya Jawa. Mahabharata dan Ramayana versi Jawa, ada punakawan, yang pada versi aslinya di India sana tidak ada."

* * *

Bagaimana akhir dari kisah tersebut diatas? Mengapa Yuyum tidak datang lagi? Siapakah Wati? Mengapa Wati merelakan Sarmin berburu rezeki di Gunung Kemukus? Siapakah Kartien? Apa benar dia seorang pekerja seks? Siapakah Romo Drajat? Benarkah ia mencintai Mas Katno? Siapakah Mas Badrun? Apakah Sarmin berhasil menjadi kaya? Apakah Revolusi Kultural itu? Sebenarnya apa saja sih yang dilakukan di Gunung Kemukus itu? Ritualnya seperti apa? Sanggupkah Meilan memenuhi harapan redpelnya?
Bagi yang penasaran, tidak ada jalan lain lagi selain membaca dari sumbernya langsung, "Ritual Gunung Kemukus, Sebuah Novel" yang diterbitkan oleh penerbit Lamalera, November 2008.

Selamat membaca!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar